PENGANTAR PENULIS
Pulau Sumbawa adalah ruang geografi yang menyimpan sejarah panjang dan kearifan lokal yang kaya. Namun dalam putaran pembangunan nasional, suara dari Timur ini kerap terdengar lirih. Buku ini lahir sebagai ikhtiar menyalakan kembali semangat, merangkum jejak, dan memotret denyut perjuangan pembentukan Provinsi Pulau Sumbawa — sebuah gagasan yang telah lama hidup dalam benak rakyatnya.
Bukan hanya catatan sejarah, buku ini adalah rekaman jiwa. Ia ditulis dengan hati, berpijak pada dokumen, pengalaman, dan aspirasi yang saya temui sepanjang perjalanan pendampingan masyarakat. Semoga kehadirannya menjadi kontribusi kecil bagi gerakan besar yang terus berjalan.
Disadari bahwa dalam penulisan buku ini jauh dari sempurna, untuk itu kami sangat mengharapkan masukan, saran, kritikan dan kami berkomitmen akan memperbaiki untuk menjadi lebih baik.
Salam hormat,
Muhammad Ungang (Sumbawa, NTB)
——-@@@——–
Provinsi Pulau Sumbawa: Jejak Panjang Menuju Pemekaran” adalah kisah perjuangan panjang rakyat dari Timur Nusa Tenggara Barat yang menuntut keadilan dan pengakuan. Buku ini mengangkat sejarah, aspirasi, dan harapan masyarakat Pulau Sumbawa yang selama puluhan tahun memperjuangkan pemekaran wilayah demi pemerataan pembangunan dan penghormatan terhadap identitas lokal.
Dibalut dengan narasi hangat, kajian mendalam, dan dokumentasi lapangan, buku ini bukan hanya bacaan sejarah—tetapi juga sumber inspirasi bagi siapa saja yang percaya bahwa perjuangan daerah tidak pernah sia-sia.
BAB I: Mimpi yang Tak Pernah Padam — Lahirnya Gagasan Provinsi Pulau Sumbawa
Di balik barisan perbukitan dan hamparan laut biru yang membelah dua gugus pulau besar di Nusa Tenggara Barat, tumbuh sebuah impian yang tak pernah padam: Provinsi Pulau Sumbawa. Ia bukan sekadar buah dari ambisi politik, melainkan suara hati rakyat yang merindukan keadilan pembangunan, pemerataan akses, dan pengakuan identitas yang khas.
Gagasan ini lahir dari realitas yang nyata: selama berpuluh-puluh tahun, Pulau Sumbawa seolah berjalan dalam bayang-bayang Pulau Lombok, baik dari sisi kebijakan, anggaran, maupun pusat kekuasaan. Ketimpangan ini tidak hanya tercermin dalam data statistik, tetapi juga terasa dalam denyut kehidupan sehari-hari masyarakat.
BAB II: Api Aspirasi dari Timur — Riuh Tahun Reformasi
Era reformasi 1998 membuka keran demokrasi yang lebih lebar. Bersamaan dengan gelombang pemekaran daerah di seluruh Indonesia, tokoh-tokoh dari Bima, Dompu, Sumbawa, dan Sumbawa Barat mulai menyuarakan satu tekad: “Pulau Sumbawa harus berdiri sendiri sebagai provinsi.” Maka dibentuklah berbagai forum komunikasi masyarakat, kelompok studi, dan deklarasi publik.
Sekitar tahun 2001, lahir Komite Persiapan Pembentukan Provinsi Pulau Sumbawa (KP3S) yang menghimpun kekuatan moral, akademik, dan politik dari seluruh kabupaten/kota di pulau itu. Mereka bekerja tanpa lelah: mendatangi DPR RI, menggelar seminar, hingga menyusun naskah akademik sebagai dasar legalitas perjuangan.
BAB III: Jalan Terjal dan Harapan yang Tetap Menyala
Namun, jalan menuju pemekaran bukanlah jalan datar. Pemerintah pusat berkali-kali memberlakukan moratorium pemekaran daerah karena alasan anggaran dan konsolidasi pemerintahan. Di sisi lain, belum sepenuhnya ada dukungan dari Pemerintah Provinsi NTB yang merasa keberatan akan potensi berkurangnya wilayah administratif dan kekuatan fiskal.
Meski demikian, semangat tidak pernah surut. Para pejuang pemekaran terus bergerak. Di Bima, Dompu, hingga Sumbawa Barat, diskusi demi diskusi tetap hidup. Spanduk dan baliho mendukung pembentukan provinsi seringkali terpajang di kantor-kantor desa dan balai pertemuan rakyat.
BAB IV: Momentum Baru dan Dukungan Generasi Muda
Memasuki tahun 2020-an, muncul gelombang baru dukungan, terutama dari generasi muda dan akademisi lokal. Mereka menyusun dokumen kajian kelayakan, memanfaatkan media sosial untuk kampanye aspirasi, dan membentuk relawan digital yang menyuarakan #ProvinsiPulauSumbawa sebagai kebutuhan, bukan sekadar keinginan.
Dukungan juga datang dari para tokoh nasional asal Sumbawa. Beberapa anggota DPR RI dari Dapil NTB bahkan telah menyuarakan aspirasi ini dalam sidang-sidang parlemen, menegaskan bahwa Pulau Sumbawa telah memenuhi syarat administratif dan kewilayahan untuk berdiri sebagai provinsi mandiri.
BAB V: Menanti Gerbang Sejarah
Hingga tahun 2025, Provinsi Pulau Sumbawa belum secara resmi diresmikan. Namun denyutnya semakin nyata, langkah-langkahnya semakin terdengar. Pemerintah pusat membuka peluang untuk mengevaluasi daerah-daerah yang secara strategis dan administratif dianggap layak dimekarkan.
Kini, masyarakat Pulau Sumbawa tetap menunggu dengan penuh harap. Bahwa suatu hari nanti, provinsi impian itu benar-benar lahir—bukan hanya sebagai struktur pemerintahan baru, tapi sebagai wujud harga diri dan harapan baru bagi generasi masa depan.
BAB VI: Suara dari Akar Rumput
Dari pelosok desa di kaki Gunung Tambora hingga pesisir Teluk Saleh, semangat pemekaran bukan hanya terdengar di ruang-ruang seminar atau kantor pemerintahan. Ia hidup dalam obrolan warga di bale-bale bambu, dalam doa-doa tokoh adat, dalam mimpi para guru dan pemuda desa yang berharap pada perubahan nyata.
Di Kabupaten Dompu, seorang guru bernama Ustaz Haris sering berkata pada murid-muridnya, “Jika Provinsi Pulau Sumbawa terbentuk, kalian akan lebih dekat dengan pusat keputusan. Kalian punya kesempatan yang lebih luas untuk menentukan arah hidup kalian sendiri.” Ungkapan sederhana itu menggambarkan harapan kolektif tentang pelayanan yang lebih cepat, pendidikan yang lebih merata, dan pembangunan yang tak lagi memandang dari pusat ke pinggiran, tetapi dari rakyat untuk rakyat.
BAB VII: Identitas dan Kekuatan Budaya Sumbawa
Pulau Sumbawa bukan hanya entitas geografis. Ia adalah mozaik budaya dengan empat etnis utama: Samawa, Mbojo, Dompu, dan Pajo. Keberagaman ini bukan penghalang, melainkan kekayaan yang menjadi fondasi kuat bagi gagasan provinsi baru.
Setiap daerah memiliki cerita, tarian, bahasa, dan nilai-nilai luhur yang diwariskan turun-temurun. Pembentukan Provinsi Pulau Sumbawa juga dilihat sebagai peluang untuk mengangkat identitas lokal agar lebih diakui secara nasional. Dengan provinsi sendiri, banyak pihak berharap akan ada kurikulum muatan lokal yang lebih kuat, festival budaya yang rutin didukung negara, serta pemberdayaan masyarakat adat sebagai pelaku utama pembangunan.
BAB VIII: Kajian Akademik dan Kelayakan Daerah
Dalam sebuah seminar yang digelar di Universitas Samawa tahun 2023, para akademisi memaparkan bahwa Pulau Sumbawa memiliki luas wilayah dan jumlah penduduk yang mencukupi untuk menjadi provinsi sendiri. Mereka juga menguraikan keunggulan sumber daya alam: tambang emas dan tembaga di Sumbawa Barat, pertanian dan peternakan di Dompu, perikanan di Bima, serta potensi wisata alam dan budaya di seluruh penjuru pulau.
Kajian itu memperkuat naskah akademik yang diajukan ke DPR RI, sekaligus menjadi rujukan strategis bagi pemimpin-pemimpin daerah untuk menyusun langkah advokasi politik ke tingkat nasional.
BAB IX: Kesiapan Infrastruktur dan Pemerintahan
Pertanyaan yang sering muncul adalah: jika provinsi ini terbentuk, di mana ibu kotanya akan berada? Berbagai usulan muncul — Kota Bima sebagai pusat pemerintahan karena status kotanya, Sumbawa Besar karena posisi tengahnya, atau Dompu karena perannya sebagai penghubung.
Meski belum ada kesepakatan final, sebagian besar pihak sepakat bahwa siapapun yang ditunjuk menjadi ibu kota, pembangunan harus menyeluruh dan tidak terpusat. Gagasan provinsi ini harus menjadi momentum pemerataan, bukan justru menciptakan ketimpangan baru.
Dari sisi infrastruktur, pelabuhan, bandara, dan jalan nasional sudah menghubungkan kota-kota utama di pulau ini. Tinggal menguatkan konektivitas antardesa dan peningkatan kapasitas sumber daya manusia untuk menjalankan roda pemerintahan provinsi baru.
BAB X: Menyongsong Masa Depan
Kini, api perjuangan itu terus menyala, bahkan semakin terang. Generasi baru tidak hanya mewarisi semangat, tetapi juga membawa pendekatan modern dalam perjuangan: kampanye digital, petisi online, media visual, hingga diplomasi politik yang berbasis data.
Provinsi Pulau Sumbawa bukan lagi mimpi utopis. Ia adalah proses panjang, langkah-langkah bertahap yang harus dirawat dengan kesabaran, ketekunan, dan persatuan seluruh elemen masyarakat. Ketika saat itu tiba, dan keputusan resmi diumumkan oleh negara, maka itu bukanlah akhir perjuangan—melainkan awal dari babak baru sejarah yang ditulis oleh anak-anak Sumbawa sendiri.
Penutup :
Dalam lembar-lembar berikutnya, buku ini akan menyajikan kronologi penting, profil tokoh pejuang pemekaran, kutipan aspirasi rakyat, dan dokumentasi visual yang memperkaya narasi sejarah ini.
—————-
LAMPIRAN I: KRONOLOGI PERJUANGAN PEMBENTUKAN PROVINSI PULAU SUMBAWA
1999–2004:
- Reformasi membuka ruang demokrasi. Aspirasi pemekaran wilayah mulai muncul dari berbagai penjuru Indonesia, termasuk dari Pulau Sumbawa.
- Tokoh-tokoh masyarakat dari Bima, Dompu, dan Sumbawa mulai menggagas pembentukan provinsi baru.
2005–2009:
- Pembentukan Komite Persiapan Pembentukan Provinsi Pulau Sumbawa (KP3S).
- Serangkaian seminar, diskusi akademik, dan sosialisasi publik digelar.
- Aspirasi disampaikan ke DPRD Provinsi NTB dan DPR RI.
2010–2015:
- Penguatan jaringan antar tokoh dan dukungan dari kalangan akademisi lokal.
- Beberapa anggota DPR RI dari Dapil NTB menyuarakan aspirasi ini dalam forum nasional.
- Wacana sempat terhambat oleh kebijakan moratorium pemekaran dari pemerintah pusat.
2016–2020:
- Dukungan dari berbagai kabupaten/kota semakin menguat.
- Rencana penyusunan naskah akademik mulai dijajaki.
- Forum-forum warga dan kelompok masyarakat sipil membentuk simpul perjuangan di tingkat akar rumput.
2021–2024:
- Muncul gelombang baru gerakan dukungan, terutama dari kalangan muda dan digital.
- Kajian kelayakan disusun oleh perguruan tinggi dan lembaga riset independen.
- Delegasi tokoh masyarakat bertemu dengan anggota DPR dan kementerian terkait.
2025:
- Status: Belum diresmikan sebagai provinsi, namun telah masuk dalam daftar usulan pemekaran strategis nasional.
- Rakyat Pulau Sumbawa menanti keputusan pemerintah pusat, sembari terus merawat semangat perjuangan melalui jalur legal, demokratis, dan bermartabat.
LAMPIRAN II: PETA RENCANA WILAYAH PROVINSI PULAU SUMBAWA
Wilayah Administratif:
- Kabupaten Sumbawa
- Kabupaten Sumbawa Barat
- Kabupaten Dompu
- Kabupaten Bima
- Kota Bima
Usulan Ibu Kota Provinsi (masih dalam diskusi):
- Sumbawa Besar
- Kota Bima
Berikut adalah artikel yang menegaskan bahwa berdasarkan pernyataan dan pandangan Prof. Din Syamsuddin dan Tokoh Sumbawa tentang komitmen awal:
Ibu Kota PPS Dipertanyakan: Sumbawa atau Bima? Prof. Din Syamsuddin dan Tokoh Sumbawa Tegaskan Komitmen Awal
Sumbawa, 1 Mei 2025 — Isu pemindahan Ibu Kota Pusat Pemerintahan Sementara (PPS) dari Kabupaten Sumbawa ke Kota Bima yang beredar dalam beberapa bulan terakhir mendapat tanggapan serius dari berbagai pihak, khususnya dari Prof. Din Syamsuddin. Dalam pernyataannya, Prof. Din menegaskan bahwa wacana tersebut tidak memiliki dasar historis maupun legal, serta berpotensi merusak semangat persatuan antara masyarakat Samawa dan Mbojo yang selama ini menjadi fondasi perjuangan pembentukan PPS.
Menurut Prof. Din, isu yang berkembang itu hanyalah gagasan sepihak dari beberapa pihak tertentu yang muncul belakangan, setelah melihat adanya peluang percepatan finalisasi pembentukan PPS pasca 11 tahun stagnasi akibat moratorium nasional.
“Itu baru sebatas keinginan sebagian pihak dalam beberapa bulan terakhir. Padahal, masalah Ibu Kota PPS sejatinya telah disepakati sejak tahun 2000, yakni berlokasi di Kabupaten Sumbawa,” tegas Prof. Din.
Kesepakatan Awal yang Terbukti dan Terdokumentasi
Penetapan Kabupaten Sumbawa sebagai Ibu Kota PPS bukanlah keputusan sepihak, melainkan hasil kesepakatan kolektif yang tercantum dalam dokumen autentik PPS. Dokumen tersebut telah disahkan oleh Pemerintah Provinsi NTB dan diperkuat dengan surat resmi Gubernur NTB kepada Menteri Dalam Negeri dan DPR RI sebagai bagian dari proposal pembentukan DOB PPS.
Prof. Din juga mengungkapkan bahwa ia bersama tokoh-tokoh lain seperti H. Musa Efendi, Drs. Azis Parady, H. Suaeb Nuhung, SH, H. Amir Jawas, Drs. Nurlatif, Hj. Maryam Salahudin, H. Yakub MT, dan Dr. Salim telah terlibat langsung dalam pembahasan dan penetapan lokasi ibu kota PPS tersebut.
“Tidak pernah ada perubahan atau pembatalan atas kesepakatan itu. Maka dari itu, informasi yang seolah-olah hendak menggeser ibu kota PPS ke Bima sebaiknya tidak perlu ditanggapi serius, kecuali jika mayoritas masyarakat Bima benar-benar menginginkan perubahan domisili ibu kota secara terbuka dan formal,” jelasnya.
Sikap Tegas Tokoh-Tokoh Daerah: ‘Lebih Baik PPS Ditolak’
Kekhawatiran terhadap wacana pemindahan ini tidak hanya disuarakan oleh Prof. Din, tetapi juga oleh sejumlah tokoh penting dari wilayah Sumbawa dan Kabupaten Sumbawa Barat (KSB). YM Sultan Sumbawa, Buya, Zul (mantan Bupati KSB), serta beberapa tokoh lainnya menegaskan bahwa jika kesepakatan lama tentang ibu kota PPS di Sumbawa diingkari, maka lebih baik perjuangan pembentukan PPS itu dihentikan.
“Mereka menyatakan, jika ibu kota yang telah disepakati dipindahkan ke Bima secara sepihak, tanpa musyawarah dan kesepakatan bersama, maka PPS sebaiknya ditolak. Karena ini menyangkut harga diri, komitmen sejarah, dan integritas perjuangan selama 25 tahun terakhir,” kata Prof. Din mengutip sikap para tokoh tersebut.
Langkah Strategis: Persiapan Dokumen Menyambut Pencabutan Moratorium
Meski diwarnai isu yang tidak sehat, perjuangan untuk pembentukan PPS tetap dilanjutkan secara konstitusional. Para penggagas PPS kini tengah menyiapkan dokumen pembaruan yang menyesuaikan dengan ketentuan Undang-Undang No. 23 Tahun 2014, guna menyambut kemungkinan dicabutnya moratorium dan diterbitkannya Peraturan Pemerintah terkait pembentukan DOB.
Prof. Din menekankan pentingnya kesiapan administratif agar PPS dapat bersaing secara sehat dengan lebih dari 360 calon DOB lainnya yang juga tengah menanti giliran.
Menjaga Kesatuan, Melawan Provokasi
Prof. Din mengajak seluruh elemen masyarakat untuk tetap menjaga semangat kebersamaan dan tidak terpecah oleh provokasi atau kepentingan tertentu yang bisa merusak proses panjang yang sudah ditempuh. “PPS adalah hasil dari perjuangan kolektif, bukan milik satu kelompok atau wilayah tertentu. Maka semangatnya harus tetap satu, berdasarkan kesepakatan dan semangat kebersamaan,” tutupnya.
LAMPIRAN III: TOKOH-TOKOH KUNCI DALAM PERJUANGAN PROVINSI PULAU SUMBAWA.
Berikut adalah tokoh-tokoh kunci dalam perjuangan pembentukan Provinsi Pulau Sumbawa (PPS) sejak awal hingga saat ini, berdasarkan sumber resmi dan laporan media:
Tokoh Inisiator dan Penggerak Awal
- Sulaiman Hamzah: Anggota DPRD NTB yang menjabat sebagai Ketua Panitia Kongres Rakyat Pulau Sumbawa pada 2011. Bersama Syahbuddin, Kafrawi, dan M. Yunus Asfiah, ia memimpin upaya awal pembentukan PPS melalui Kongres Rakyat Pulau Sumbawa yang melibatkan para bupati, wali kota, dan pimpinan DPRD se-Pulau Sumbawa.
- Salim HS: Sekretaris Komite Pembentukan Provinsi Pulau Sumbawa (KP3S) yang aktif dalam mengoordinasikan persyaratan administratif dan politik untuk pembentukan PPS, termasuk pengajuan rekomendasi ke DPRD NTB dan Gubernur NTB.
Baca juga Meluruskan Sejarah Perjuangan Pemekaran Provinsi Pulau Sumbawa (PPS)
Tokoh Politik dan Akademisi
- Prof. Dr. Farouk Muhammad: Anggota DPD RI asal NTB yang memimpin konsolidasi dan penataan ulang kepengurusan KP3S pada 2011, memperkuat struktur organisasi dalam perjuangan pembentukan PPS.
- Dr. H. Sanusi, S.PoG: Ketua KP3S yang aktif sejak 2014. Ia menegaskan bahwa secara administratif, PPS telah memenuhi syarat, namun tertunda karena moratorium pemekaran wilayah.
Tokoh Nasional
- Fahri Hamzah: Wakil Ketua DPR RI periode 2014–2019 yang secara konsisten mendukung pembentukan PPS. Ia menyatakan bahwa PPS menjadi prioritas dalam daftar pemekaran wilayah di Indonesia dan telah memperjuangkannya selama lebih dari dua dekade.
Tokoh Daerah dan Pemerintah Lokal
Pada Kongres Rakyat Pulau Sumbawa 2011, seluruh kepala daerah dan pimpinan DPRD se-Pulau Sumbawa menandatangani rekomendasi percepatan pembentukan PPS. Tokoh-tokoh tersebut antara lain:
- Drs. H. Jamaluddin Malik (Bupati Sumbawa)
- Drs. H. Mala Rahman (Wakil Bupati Sumbawa Barat)
- Drs. H. Syamsuddin (Wakil Bupati Dompu)
- H. Feri Zulkarnaen, ST (Bupati Bima)
- H. A. Rahman (Wakil Wali Kota Bima)
Tokoh Terbaru dan Lanjutan
- Azwar: Koordinator Presidium Forum Persiapan Provinsi Sumbawa (FPPS) yang aktif mendorong pemekaran PPS melalui jalur politik dan administratif, termasuk koordinasi dengan Ketua Badan Legislasi DPR RI.
- Sabaruddin: Penasehat FPPS dan Bendahara Umum MN KAHMI yang menekankan perlunya kolaborasi seluruh pemangku kepentingan untuk mewujudkan PPS.
Perjuangan pembentukan PPS merupakan hasil kerja kolektif dari berbagai tokoh masyarakat, politikus, dan akademisi yang berkomitmen untuk meningkatkan pelayanan publik dan pemerataan pembangunan di Pulau Sumbawa.
Berdasarkan tulisan Amir Jawas, Meluruskan Sejarah Perjuangan Pemekaran Provinsi Pulau Sumbawa (PPS), bahwa Perjuangan untuk mewujudkan Provinsi Pulau Sumbawa (PPS) bukanlah gerakan spontan, melainkan hasil dari proses panjang, melibatkan banyak tokoh, dinamika politik, serta komitmen masyarakat Pulau Sumbawa. Berdasarkan catatan dan kesaksian dari salah satu pelaku sejarah, Amir Jawas, artikel ini disusun untuk meluruskan sejarah dan menempatkan fakta-fakta perjuangan PPS pada proporsi yang tepat.
Roh Perjuangan dan Awal Pembentukan KP3S
Semangat awal perjuangan PPS tumbuh dari keinginan masyarakat Pulau Sumbawa untuk berdiri sebagai provinsi mandiri, lepas dari Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB). Gagasan ini kemudian diwujudkan dalam pembentukan Komite Persiapan Pembentukan Provinsi Sumbawa (KP3S).
Struktur awal KP3S Provinsi NTB antara lain:
- Ketua: Dr. Agus Sofian Wahab, S.H.
- Sekretaris Jenderal: Prof. Salim, S.H.
- Wakil Ketua: Dr. Hj. Mariam, Drs. Harun Al Rasyid, Ikhlasuddin Jamal, S.E., Abdullah, S.H., Yakup MT, dan lainnya.
Pada masa Gubernur NTB Harun Al Rasyid, gerakan PPS belum mendapatkan dukungan penuh, bahkan ditolak secara halus. Namun, setelah beliau tak lagi menjabat, Harun Al Rasyid justru bergabung aktif dengan KP3S dan rutin hadir dalam rapat-rapat strategis, terutama yang digelar di kediaman Hj. Mariam.
Dalam forum-forum internal KP3S, sempat muncul perbedaan pendapat terkait lokasi calon ibu kota PPS. Yakup MT (mantan Bupati Dompu dan Sultan Dompu) mendukung Sumbawa Besar sebagai ibu kota, sementara Harun Al Rasyid mengusulkan Plampang, dengan alasan kedekatan geografis dengan Bima dan ketersediaan lahan luas.
Rapat, Dinamika, dan Tantangan
Karena belum memiliki kantor tetap, kegiatan KP3S banyak dilakukan di Kantor Notaris Abdullah, S.H. dan rumah Hj. Mariam. Pada satu masa, KP3S difasilitasi oleh Harun Al Rasyid untuk menggunakan gedung di Jalan Langko, eks kantor redaksi Lombok Pos. Namun, kantor tersebut mengalami gangguan serius: spanduk PPS dirusak, dan kantor dilempari batu setiap malam.
Akhirnya, kegiatan KP3S kembali dipusatkan di kantor notaris atau berpindah-pindah untuk menjaga keamanan. Meski dihadang berbagai tekanan, semangat perjuangan PPS tak pernah surut.
Deklarasi dan Konsolidasi Regional
Deklarasi resmi PPS dilaksanakan di Taman Mini Indonesia Indah (TMII), Jakarta, diprakarsai oleh Amir Jawas bersama KP3S Jakarta. Sementara itu, KP3S di Mataram mulai membentuk cabang-cabang di daerah:
- Kabupaten Sumbawa: Ketua Mustami Hamzah, Sekretaris Samayul Fikri
- Dompu dan Bima: Tokoh lokal dan pemerintah daerah
- Kota Bima: Wali Kota Qurais
- KSB: Dr. Agus Sofian Wahab
Dalam perkembangannya, KP3S Kabupaten Sumbawa kemudian dipimpin oleh almarhum Mustami Hamzah bersama Ir. Ikhraman.
Era Gubernur TGB: PPS Makin Solid
Pada masa Gubernur Tuan Guru Bajang (TGB), KP3S semakin aktif melakukan sosialisasi ke seluruh kabupaten/kota se-Pulau Sumbawa. Hasilnya sangat signifikan:
- Seluruh bupati dan wali kota sepakat menjadikan Sumbawa Besar sebagai ibu kota PPS,
- Keputusan ini diperkuat melalui rapat paripurna DPRD masing-masing daerah,
- Dokumen resmi ditandatangani dan disepakati secara kolektif.
Deklarasi besar direncanakan digelar di Lapangan Karuto, Sumbawa, dan dihadiri oleh ribuan masyarakat serta tokoh-tokoh Pulau Sumbawa.
Usulan Anggaran dan Kajian Resmi
KP3S mengajukan proposal pendanaan ke Pemerintah Provinsi NTB dan Pemerintah Kabupaten Sumbawa. Keduanya menyetujui:
- Pemerintah Provinsi NTB mengalokasikan anggaran miliaran rupiah,
- Pemerintah Kabupaten Sumbawa menganggarkan ratusan juta rupiah.
Dana tersebut digunakan untuk membentuk tim kajian resmi, sesuai amanat undang-undang pemekaran daerah. Namun, dalam proses ini, KP3S menghadapi sejumlah upaya penggagalan, seperti laporan data yang direkayasa oleh beberapa dinas di tingkat provinsi. Hal ini terungkap dari laporan Irfan Rayes, Kepala Dinas Kelautan NTB.
Meski demikian, KP3S Mataram bekerja keras melengkapi seluruh persyaratan. Proposal PPS kemudian diserahkan ke Kementerian Dalam Negeri dan dibawa dalam audiensi dengan DPR RI. Tim KP3S Mataram pun melakukan perjalanan ke Jakarta, berkoordinasi dengan KP3S Jakarta dan mempersiapkan segala sesuatu untuk kunjungan DPR RI ke Pulau Sumbawa.
Persiapan Calon Ibu Kota dan Kantor Gubernur
Dalam rangka menyambut kunjungan DPR RI, KP3S Mataram bekerja sama dengan pemuda dan masyarakat Sumbawa mempersiapkan lahan dan fasilitas:
- Lahan ratusan hektare dihibahkan oleh Pemerintah Kabupaten Sumbawa di kawasan Labuhan Badas sebagai calon lokasi ibu kota PPS.
- Gedung bekas kantor DPRD Kabupaten Sumbawa disiapkan sebagai kantor gubernur PPS.
Semua persiapan dan komitmen tersebut dipaparkan secara resmi oleh KP3S kepada tim DPR RI.
Penutup: PPS dan Harapan yang Masih Menyala
Dengan selesainya proses administratif, seluruh dokumen dan persyaratan pemekaran PPS telah lengkap dan disimpan di Kementerian Dalam Negeri dan DPR RI. Sumbawa Besar telah ditetapkan secara resmi sebagai calon ibu kota PPS.
Namun, hingga kini, realisasi PPS masih tertahan oleh kebijakan moratorium pemekaran daerah. Amir Jawas menyampaikan pandangannya bahwa satu-satunya sosok yang memiliki kapasitas politik dan posisi strategis untuk membuka kembali moratorium ini adalah Fahri Hamzah, tokoh nasional asal Pulau Sumbawa.