Legenda Desa Batu Tering

“Batu Tering bukan hanya tempat, tetapi kisah yang hidup dalam waktu. Mereka yang memahami sejarahnya akan menemukan kebijaksanaan di setiap jejak yang ditinggalkan leluhur.”

Jejak Perjuangan, Spiritualitas, dan Warisan Leluhur

Di tanah yang dahulu menjadi saksi bisu pertempuran antara Datu Namacene dan Pangeran Trenggono, terbentuklah sebuah peradaban yang tak hanya bertahan, tetapi juga mewariskan jejak perjuangan yang abadi. Desa Batu Tering, yang terletak di Kecamatan Moyo Hulu, Kabupaten Sumbawa, Nusa Tenggara Barat (NTB), bukan sekadar wilayah yang kaya akan keindahan alam, tetapi juga menyimpan sejarah panjang tentang keberanian, kebijaksanaan, dan spiritualitas para leluhur.

Batu Tering bukan hanya nama sebuah desa. Ia adalah simbol dari perlawanan, keteguhan, dan perjalanan panjang manusia dalam mencari tempat yang damai, tempat untuk bertahan, dan tempat untuk meneruskan kehidupan.

Setiap jejak leluhur bukan sekadar cerita, tetapi pelajaran bagi generasi yang akan datang”.


Perjalanan Datu Namacene: Dari Kejatuhan Menuju Harapan Baru

Di tahun yang tak dapat dipastikan, sekitar abad ke-16, pertempuran dahsyat terjadi antara Kerajaan Demak dan Kerajaan Pajajaran. Di bawah komando Raden Fatahillah, pasukan Demak berhasil mengalahkan pasukan Datu Namacene, seorang pemimpin dari Kerajaan Pajajaran yang berusaha mempertahankan kekuasaannya. Terdesak oleh kekuatan besar Demak, Datu Namacene dan pasukan setianya terpaksa melarikan diri ke tanah jauh di seberang lautan, yang kini dikenal sebagai Pulau Sumbawa.

Tiba di tanah yang asing, Datu Namacene tidak menyerah. Ia mendirikan sebuah kerajaan kecil bernama Negeri Malang Ruat di dekat Sungai Brang Bee, Kecamatan Lunyuk. Di sana, ia mulai membangun kembali kekuatannya dengan mengajak penduduk setempat untuk bersatu. Namun, keberadaannya segera diketahui oleh Raden Fatahillah, yang kemudian mengutus Pangeran Trenggono untuk menumpasnya.

Kekalahan bukan akhir dari segalanya. Kadang, ia adalah awal dari perjalanan baru yang lebih besar.


Pangeran Trenggono dan Lahirnya Negeri Batu Tering

Pangeran Trenggono, yang dikenal sebagai pemimpin tangguh, berlayar ke Sumbawa dengan kapal perangnya yang besar dan kuat. Bersama pasukannya, ia menelusuri hutan, mendaki perbukitan, hingga akhirnya tiba di sebuah dataran luas yang kini disebut Sampar Karengas.

Di sanalah, Pangeran Trenggono mendirikan kerajaan baru yang dinamai Tana’ Tering. Penduduk setempat kemudian menyebutnya Negeri Datu Tering, yang seiring waktu berubah nama menjadi Batu Tering. Dengan kedatangannya, tanah ini tidak hanya menjadi tempat baru bagi pasukan Demak, tetapi juga berkembang menjadi pusat peradaban yang besar di wilayah Sumbawa.

Dari tanah yang baru, sejarah bisa terulang dan peradaban bisa dibangun kembali.


Gua Liang Petang: Tempat Persembunyian, Pertapaan, dan Spiritualitas

Namun, kisah Batu Tering tidak berhenti di sana. Di kedalaman bumi, tersembunyi sebuah gua yang menyimpan jejak perjalanan para leluhur—Gua Liang Petang.

Terletak sekitar 29 km dari Kota Sumbawa Besar, gua ini bukan sekadar tempat yang menantang para petualang. Di dalamnya terdapat batu-batu berbentuk manusia, balai-balai (pantar), alat tenun, serta stalaktit dan stalagmit yang indah. Konon, gua ini pernah menjadi tempat persembunyian para penyiar Islam dan digunakan sebagai tempat pertapaan bagi para pendekar di era Kerajaan Sumbawa.

Melangkah masuk ke dalam Gua Liang Petang berarti melangkah ke dalam sejarah yang terukir dalam diam. Lorong-lorong gelap yang sempit menuntut keberanian, seolah mengingatkan bagaimana para pejuang dahulu bertahan dalam kegelapan sebelum akhirnya menemukan cahaya kemenangan.

Tak jauh dari gua ini, terdapat pula Liang Bukal atau Gua Kelelawar, tempat yang juga menjadi bagian dari kisah panjang Batu Tering. Kedua gua ini menjadi simbol dari ketahanan, kebijaksanaan, dan perjalanan spiritual yang mendalam.

Kadang, kita harus melewati kegelapan terdalam sebelum menemukan cahaya yang sejati.


Batu Tering, Liang Petang, dan Liang Bukal: Jejak yang Tak Akan Pudar

Saat ini, Batu Tering dan gua-gua bersejarah di dalamnya bukan hanya menyimpan cerita, tetapi juga menjadi destinasi wisata yang memacu adrenalin sekaligus menghadirkan pengalaman spiritual bagi para pengunjungnya.

Siapa pun yang melangkah ke Gua Liang Petang, menyusuri lorong-lorongnya yang sempit dan gelap, akan merasakan aura sejarah yang begitu kental. Batu-batu yang menyerupai manusia seolah berbisik tentang masa lalu, mengingatkan kita pada mereka yang pernah bertahan di dalamnya—para pejuang, para pendekar, para pemikir.

Setiap sudut gua adalah saksi dari ketahanan manusia, dan setiap langkah yang diambil di dalamnya adalah langkah menuju pemahaman yang lebih dalam tentang kehidupan.

Sejarah bukan hanya untuk dikenang, tetapi juga untuk dipelajari dan dijadikan bekal dalam melangkah ke depan.


Menelusuri Jejak Leluhur: Warisan yang Tak Akan Hilang

Batu Tering dan gua-gua di sekitarnya adalah jembatan yang menghubungkan kita dengan masa lalu. Setiap tempat di desa ini adalah bagian dari kisah besar yang mengajarkan tentang perjuangan, keberanian, dan kebijaksanaan.

Ketika kita menelusuri jejak leluhur, kita tidak hanya berjalan di atas tanah yang mereka pijak, tetapi juga menyerap semangat mereka—semangat yang telah menjadikan Batu Tering lebih dari sekadar nama desa, tetapi sebuah warisan yang abadi.

“Batu Tering dan Gua Liang Petang bukan hanya sekadar tempat. Mereka adalah kisah yang hidup, legenda yang mengajarkan, dan warisan yang menghubungkan kita dengan mereka yang telah lebih dulu melangkah.”

Pesan Moral dari Kisah Batu Tering

  1. Keberanian dalam Menghadapi Takdir – Seperti Datu Namacene yang tidak menyerah meski terpaksa meninggalkan negerinya, hidup mengajarkan bahwa kekalahan bukanlah akhir, tetapi awal dari perjuangan baru.
  2. Kebangkitan dari KejatuhanPangeran Trenggono mendirikan negeri baru di atas tanah yang dahulu menjadi saksi pertempuran. Ini mengajarkan bahwa dalam setiap kegagalan, selalu ada kesempatan untuk bangkit dan membangun kembali.
  3. Kebijaksanaan dalam KesunyianGua Liang Petang menjadi tempat perlindungan dan pertapaan para pendekar. Kadang, dalam kesunyianlah manusia menemukan makna, dan dalam keheningan ia menemukan kekuatannya.
  4. Sejarah adalah Cermin Masa Depan – Batu Tering bukan sekadar nama, tetapi kisah yang mengajarkan bahwa masa lalu bukan untuk dilupakan, melainkan untuk dipelajari agar menjadi bekal dalam melangkah ke depan.
  5. Jejak Leluhur adalah Warisan yang Harus Dijaga – Warisan tidak selalu berupa harta, tetapi juga nilai, keberanian, dan kebijaksanaan. Setiap generasi bertanggung jawab untuk menjaga dan meneruskan jejak kebaikan yang telah ditinggalkan.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Content is protected !!
Scroll to Top