Di balik setiap nama, tersimpan kisah yang menanti untuk diungkap. Mokong—sebuah desa yang namanya kerap mengundang tanya. Apa makna di baliknya? Mengapa desa ini diberi nama demikian?
Dari generasi ke generasi, sebuah cerita mengalir seperti aliran sungai, berbisik di antara dedaunan yang menari dalam hembusan angin. Kisah ini hidup dalam ingatan, melayang di antara batas nyata dan legenda, membingkai sejarah dengan sentuhan magis.
Percaya atau tidak, kisah ini tetap abadi, diceritakan dengan penuh rasa di setiap sudut desa. Maka, mari kita telusuri jejak masa lalu, menyelami legenda yang membentuk tanah yang kini disebut Desa Mokong.
Legenda Desa Mokong: Kisah Kebijaksanaan, Persatuan, dan Warisan Alam
Di kaki bukit Desa Loka, angin berhembus lembut, membawa bisikan masa lalu yang tersimpan dalam ingatan leluhur. Di sanalah, seorang lelaki bernama Bonga hidup dengan keluarganya, dikenal sebagai sosok yang teguh dalam prinsip dan menjunjung tinggi keadilan. Meski sering berbeda pendapat dengan raja, ia tak pernah gentar menyuarakan kebenaran. Baginya, kejujuran dan kebijaksanaan lebih mulia daripada kepatuhan buta.


Suatu hari, kabar tentang keteguhan hati Bonga sampai ke telinga sang raja. Namun, raja bukanlah penguasa yang hanya mengandalkan kekuasaan. Dengan kebijaksanaan, ia memutuskan untuk bertemu langsung dengan Bonga, bukan sebagai lawan, melainkan sebagai saudara.
Di atas bukit batu Desa Loka, mereka bertemu. Raja menatap Bonga dengan penuh makna dan berkata, “Aku datang bukan untuk memaksamu tunduk, tetapi untuk menawarkan jalan yang lebih baik bagi rakyatmu.”
Bonga menatapnya dengan sorot mata penuh pertanyaan. “Apa maksud paduka?”
Sang raja tersenyum. “Aku melihat keinginanmu untuk melindungi rakyatmu. Bagaimana jika kalian berpindah ke tanah yang lebih luas dan subur, di bawah Desa Loka? Di sana, kalian dapat hidup lebih damai, lebih sejahtera, tanpa dihantui keterbatasan.”
Bonga terdiam. Ia menyadari bahwa kehidupan di Desa Loka semakin sulit. Namun, meninggalkan tanah leluhur bukanlah keputusan ringan. Namun, melihat ketulusan di mata sang raja, hatinya perlahan luluh.
“Jika ini demi kebaikan rakyatku,” katanya akhirnya, “aku akan menerima saran paduka.”
Di atas bukit batu itu, mereka saling berpelukan erat. Sebuah peristiwa yang dalam bahasa setempat disebut “barekong”, lambang persatuan dan awal yang baru. Dari sanalah, desa yang mereka bangun diberi nama Mokong, sebagai pengingat akan kebersamaan dan harapan.
Mokong: Tanah Harapan yang Tumbuh dalam Ketekunan
Sejak tahun 1908, Desa Mokong perlahan berkembang. Tanah subur itu menjadi ladang harapan bagi rakyat Bonga. Meski tak memiliki sungai besar, hanya aliran kali kecil yang mengalir di beberapa bagian desa, masyarakatnya pantang menyerah. Mereka bekerja keras sebagai petani dan peladang, menggantungkan hidup pada sawah tadah hujan, menanti kemurahan langit.


Memasuki era 1960-an, Desa Mokong masih memegang erat tradisinya. Rumah-rumah panggung berdiri kokoh, beratapkan bambu “santek”, atau ilalang yang melindungi mereka dari panas dan hujan. Namun, ada satu tantangan besar yang mereka hadapi: pendidikan.
Anak-anak yang ingin bersekolah harus berjalan sejauh lima kilometer ke Desa Batu Bulan, pusat kecamatan saat itu. Namun, mereka tak mengeluh. Dengan penuh semangat, mereka berangkat setiap pagi dengan menunggang kuda. Ada kalanya, di tengah jalan, kuda-kuda mereka berhenti untuk makan rumput, membuat anak-anak turun dan menarik tali kekang sambil tertawa geli. Perjalanan yang melelahkan berubah menjadi petualangan penuh cerita.
Namun, tahun 1970-an membawa perubahan besar. Sebuah gedung sekolah akhirnya berdiri di desa mereka. Kini, anak-anak tak lagi harus menempuh perjalanan jauh demi menuntut ilmu. Desa ini pun berkembang, terbagi menjadi Dusun Mokong dan Dusun Pelita, dengan harapan menciptakan kehidupan yang lebih baik bagi generasi mendatang.
Batu Ruru’: Sang Saksi Diam Masa Lalu
Di selatan Desa Mokong, sekitar satu kilometer dari pemukiman, terdapat sebuah batu besar berbentuk persegi empat, 10 x 10 meter. Masyarakat menyebutnya “Batu Ruru'” atau “Batu Jatuh”. Legenda mengatakan bahwa batu ini jatuh dari gunung pada zaman dahulu, mengguncang bumi dengan dahsyat. Goncangan itu menghancurkan periuk, gelas, dan perabot rumah tangga masyarakat, seakan menjadi pengingat bahwa alam memiliki kekuatannya sendiri.
Hingga kini, Batu Ruru’ tetap menjadi tempat yang kerap dikunjungi. Tak hanya oleh masyarakat Mokong, tetapi juga oleh keturunan mereka dari desa lain. Konon, batu ini memiliki energi magis. Tak hanya sebagai benda mati, Batu Ruru’ adalah saksi bisu perjalanan waktu, mengajarkan bahwa bahkan sesuatu yang jatuh dapat memiliki makna mendalam bagi generasi mendatang.
Boan Aning: Negeri Lebah dan Keajaiban Alam
Di salah satu sudut Desa Mokong, alam menyimpan keajaiban lain. Sebuah gunung batu menjulang tinggi, dihuni oleh ratusan sarang lebah. Masyarakat menyebutnya “Boan Aning”, atau “Negeri Lebah”. Di sinilah, lebah-lebah membangun rumah mereka, tak pernah meninggalkan tempat itu, seolah mengajarkan manusia tentang kesetiaan dan keteraturan.
Namun, mendapatkan madu dari Negeri Lebah bukanlah perkara mudah. Sarang-sarangnya berada di ketinggian yang sulit dijangkau. Butuh keberanian dan keahlian bagi mereka yang ingin mengambilnya. Namun, bagi masyarakat, Boan Aning adalah simbol ketekunan dan kerja keras. Seperti lebah yang tak kenal lelah membangun sarangnya, manusia pun harus berusaha untuk meraih kehidupan yang lebih baik.
Menariknya, di bawah gunung batu ini terdapat ruang seperti emperan atap, tempat orang-orang bisa berteduh jika hujan turun. Seolah alam tak hanya memberikan tantangan, tetapi juga perlindungan. Setiap elemen dari Negeri Lebah memiliki makna—tentang kehidupan, ketekunan, dan keseimbangan antara manusia dan alam.
Makna dan Warisan Desa Mokong
Seiring waktu, Desa Mokong terus berkembang, namun semangat masyarakatnya tetap sama. Mereka percaya bahwa dengan persatuan, kebijaksanaan, dan kerja keras, mereka dapat menghadapi segala tantangan. Batu Ruru’ mengajarkan bahwa bahkan sesuatu yang jatuh memiliki makna. Boan Aning mengajarkan bahwa usaha yang gigih akan selalu menghasilkan manisnya madu kehidupan.


Hingga kini, Mokong tetap dikenang bukan hanya sebagai tanah leluhur, tetapi juga sebagai simbol harapan dan persaudaraan. Dan di antara semua kisah perjuangan itu, ada satu hal yang tak pernah berubah—tawa dan cerita jenaka yang selalu menghiasi hari-hari mereka, mengingatkan bahwa hidup bukan hanya tentang bekerja keras, tetapi juga tentang menikmati setiap momen dengan kebahagiaan.