Oleh : Muhammad Ungang
Menyalakan Cahaya di Pelosok Negeri

Di balik perbukitan yang membentang di ujung selatan Kabupaten Sumbawa, terdapat desa-desa yang hidup dalam keterbatasan. Jalan berbatu yang belum tersentuh aspal, listrik yang masih berjuang menerangi rumah-rumah warga, serta sinyal internet yang nyaris tak ada—semua menjadi bagian dari keseharian mereka. Administrasi desa masih berjalan secara manual, lamban, dan kerap kali menyulitkan warga yang membutuhkan pelayanan.
Di tengah keterbatasan itu, seorang pria bernama, sebut saja Dia “Pak Sekjen” melangkah dengan tekad kuat. Sebagai Pendamping Sistem Informasi Desa (SID), ia membawa misi yang tampak sederhana tetapi penuh tantangan: mengenalkan teknologi untuk mengubah cara desa mengelola administrasi dan layanan publik. Dengan pengalaman sebagai Pegiat IT OpenSID dan anggota resmi dari Perkumpulan Desa Digital Terbuka (Opendesa), ia menyusuri desa-desa terpencil, menghadapi perangkat desa yang masih ragu, serta melewati jalan panjang tanpa kepastian.
Perjalanannya dimulai dari Kecamatan Orong Telu, daerah terpencil yang memerlukan waktu tempuh berjam-jam untuk dicapai. Dengan bantuan seorang Sekretaris Kecamatan, ia bertemu para kepala desa dan perangkatnya, menjelaskan bagaimana OpenSID dapat menjadi solusi bagi mereka. Namun, perlawanan tak terhindarkan. Keterbatasan infrastruktur, minimnya sumber daya manusia yang paham teknologi, serta ketidakpercayaan terhadap sistem baru menjadi tantangan yang terus menghadang.
Di titik tertentu, rasa putus asa hampir membuatnya menyerah. Diamnya pemerintah daerah dan kurangnya dukungan dari berbagai pihak sempat menggoyahkan keyakinannya. Namun, semangatnya tak padam. Sedikit demi sedikit, perubahan mulai terjadi. Beberapa kepala desa mulai merespons, tidak hanya di Orong Telu, tetapi juga di desa-desa lain di Kabupaten Sumbawa. Mereka tak hanya sekadar menerima OpenSID, tetapi bahkan mulai membahasnya dalam RAPBDes masing-masing.
Kini, administrasi desa berjalan lebih efisien, transparansi meningkat, dan masyarakat mulai merasakan manfaat nyata dari sistem ini. Tak ada lagi pencarian dokumen yang melelahkan, tak ada lagi birokrasi yang membingungkan. Desa-desa yang dulu tertinggal kini mulai sejajar dengan desa-desa lain yang lebih maju.
Namun, perjuangan ini belum selesai. OpenSID hanyalah awal dari perubahan besar yang masih harus dijaga dan dikembangkan. Muhammad Ungang memahami bahwa digitalisasi desa bukan sekadar proyek sesaat, tetapi sebuah perjalanan panjang menuju desa yang lebih mandiri dan modern.
Dan selagi bara semangat masih menyala, ia akan terus melangkah.
(Pengantar ini menjadi jendela awal dari kisah penuh perjuangan, harapan, dan ketekunan dalam membawa teknologi ke pelosok negeri. Cerita selengkapnya akan mengisahkan perjalanan nyata yang penuh tantangan dan keberhasilan dalam mendampingi desa-desa menuju era digital.)
——————————————-
Tersebutlah di ujung selatan Kabupaten Sumbawa, tersembunyi empat desa di Kecamatan Orong Telu, tempat peradaban seakan berjalan lebih lambat dibanding hiruk-pikuk kota. Perjalanan ke sana bukan perkara mudah. Dengan mobil pribadi, butuh waktu empat jam menembus jalan berliku yang sebagian besar masih berupa tanah merah dan bebatuan. Jika menggunakan angkutan umum, perjalanan bertambah panjang hingga enam jam, menyusuri jalur yang berdebu saat kemarau dan berubah menjadi lumpur saat hujan mengguyur.
Desa-desa ini bernafas dalam sunyi, diapit perbukitan hijau yang memanjang seperti benteng alami. Hamparan ladang terbentang luas, menjadi saksi kesetiaan penduduknya pada tanah yang mereka garap dengan telapak tangan sendiri. Petani dan pekebun adalah denyut utama kehidupan di sini. Sawah memang ada, tapi tak seberapa dibandingkan ladang-ladang yang bergantung pada kemurahan hujan.
Di malam hari, kegelapan merayap lebih pekat di beberapa sudut desa, tempat listrik belum menjangkau setiap rumah. Beberapa dusun masih bertahan dengan lampu minyak atau generator kecil yang hanya menyala beberapa jam. Sinyal internet? Bahkan telepon genggam sering kali hanya menjadi benda mati di saku, kehilangan fungsinya di wilayah yang nyaris terputus dari dunia luar.
Jarak antar dusun terbentang jauh, membuat urusan administrasi desa tak semudah membalik telapak tangan. Perangkat desa masih mencatat data secara manual, lembar demi lembar tersusun dalam tumpukan map yang rentan hilang atau rusak. Saat ada warga yang perlu mengurus dokumen, perjalanan ke kantor desa menjadi perjalanan panjang yang menguras waktu dan tenaga.
Di tengah segala keterbatasan itu, perubahan besar akan segera datang. Sebuah sistem yang kelak menjadi jembatan menuju kemudahan dan transparansi. Tapi, sebelum itu, ada perjuangan panjang yang harus ditempuh.
Bayang-Bayang di Balik Meja Administrasi
Di dalam kantor desa yang berdinding papan dan beratapkan seng yang mulai menua, seorang perangkat desa membolak-balik tumpukan berkas yang menguning. Kertas-kertas itu telah melewati banyak musim, menyimpan riwayat warga dalam lipatan-lipatan rapuhnya. Nama-nama tertulis dengan tinta yang mulai pudar, sebagian bercampur noda akibat lembab dan debu yang mengendap dari waktu ke waktu.
Di sini, administrasi desa masih berjalan dengan cara lama—manual, rentan, dan penuh keterbatasan. Setiap pengurusan dokumen membutuhkan waktu yang tak sebentar. Saat seorang warga datang mengurus surat keterangan, perangkat desa harus membuka satu per satu map usang, mencari nama yang sering kali terselip entah di mana. Jika dokumen yang dicari tak kunjung ditemukan, harapan perlahan berubah menjadi helaan napas panjang.
Hambatan semakin bertambah dengan minimnya tenaga administrasi yang benar-benar menguasai pencatatan secara tertib. Di beberapa desa, hanya satu atau dua orang yang memahami seluk-beluk pengarsipan, sementara yang lain sekadar membantu sebisanya. Keterbatasan ini sering kali menjadi awal dari ketidakakuratan data—kesalahan pencatatan, kehilangan dokumen, hingga kesulitan dalam penyusunan laporan desa.
Belum lagi jarak antara dusun yang jauh, membuat banyak warga harus menempuh perjalanan panjang hanya untuk mendapatkan selembar surat. Di musim hujan, jalanan tanah yang licin menjadi tantangan tersendiri. Ada kalanya warga datang dengan penuh harap, hanya untuk kembali dengan tangan hampa karena petugas belum sempat menulis atau mencari data yang mereka perlukan.
Di balik meja administrasi yang penuh sesak oleh kertas-kertas, tersembunyi kelelahan dan keterbatasan. Sistem yang ada bukan hanya soal cara kerja, tetapi juga tentang nasib warga yang bergantung pada setiap lembar dokumen yang tertunda. Inilah bayang-bayang yang menyelimuti administrasi desa, menanti cahaya perubahan yang akan mengubah segalanya.
Jejak Sang Pendamping
Di antara tumpukan berkas yang menguning dan sistem yang berjalan seadanya, langkah seorang pria yang usianya tidak muda lagi menapaki jalanan berbatu menuju perubahan. Dia , pria berusia 62 tahun, telah menghabiskan sebagian besar hidupnya mengabdi untuk desa. Sebagai anggota resmi dari Perkumpulan Desa Digital Terbuka (Opendesa) dan Pegiat IT OpenSID, Dia datang bukan sekadar membawa teknologi, tetapi juga harapan. Ditunjuk oleh Pemerintah Daerah Sumbawa sebagai Pendamping SID, tugasnya tidak ringan—157 desa dan 8 kelurahan menjadi ladang pengabdiannya, termasuk desa-desa terpencil di Kecamatan Orong Telu.
Motivasinya bukan semata pekerjaan, melainkan panggilan jiwa. Dia percaya bahwa teknologi bukan hanya milik kota, bukan hanya milik mereka yang dekat dengan gemerlap modernisasi. Di desa-desa yang tersembunyi di balik perbukitan, di tempat listrik masih malu-malu menerangi malam, dan di mana sinyal internet sering kali lenyap ditelan angin, SID bisa menjadi cahaya kecil yang perlahan membesar.
Kehadirannya di Kecamatan Orong Telu tak terjadi begitu saja. Seorang ASN yang menjabat sebagai Sekretaris Kecamatan membuka jalan, mempertemukannya dengan para kepala desa dan perangkatnya. Di sebuah aula sederhana, di antara kursi-kursi kayu dan meja yang penuh berkas, Dia berdiri, menjelaskan dengan penuh semangat tentang Sistem Informasi Desa—tentang bagaimana satu perangkat lunak bisa mengubah cara mereka bekerja, mengurangi tumpukan kertas yang tak berujung, dan membawa desa mereka lebih dekat dengan transparansi dan efisiensi.
Namun, jalan perubahan tak pernah mulus. Di hadapannya, ada kepala desa yang skeptis, perangkat yang ragu, dan kondisi desa yang penuh keterbatasan. Tapi Dia tahu, setiap perjuangan memiliki titik awal. Dengan keyakinan yang teguh, Dia memulai misinya—menanam benih digitalisasi di tanah yang selama ini kering dari sentuhan teknologi, berharap kelak akan tumbuh menjadi pohon besar yang menaungi seluruh desa.
Menanam Benih Perubahan
Di suatu pagi yang temaram, di balik layar ponselnya, Dia mulai menabur benih perubahan. Bukan dengan cangkul atau bibit tanaman, melainkan dengan pesan-pesan yang diketik di WhatsApp, menjangkau desa-desa yang tersebar di Kecamatan Orong Telu. Satu per satu, Dia menghubungi kepala desa, perangkat, dan siapa pun yang bersedia mendengar. Pesannya sederhana, tapi mengandung harapan besar: memperkenalkan OpenSID sebagai sistem yang akan mengubah cara kerja administrasi desa.
Langkah pertama adalah meyakinkan mereka untuk mencoba. Dia meminta setiap desa menginstal OpenSID dalam mode demo, menjadikannya cerminan awal bagaimana sistem ini bekerja. Tidak sedikit yang bingung, bahkan ragu. “Apa mungkin sistem ini bisa membantu?” “Apakah kami bisa menggunakannya?” Pertanyaan-pertanyaan itu muncul, bercampur antara penasaran dan ketidakpercayaan. Namun, bagi Dia , itu bukan halangan, melainkan bagian dari proses.
Setelah berbagai percakapan daring, tibalah saatnya untuk melangkah lebih jauh. Dengan perjalanan panjang yang menguras tenaga, Dia akhirnya tiba di Kecamatan Orong Telu. Perjalanan berjam-jam melewati jalanan yang masih berkerikil dan mendaki perbukitan yang sunyi, seolah menggambarkan betapa sulitnya membawa perubahan ke tempat-tempat terpencil.
Di kantor kecamatan, seorang Sekretaris Kecamatan yang peduli dengan kemajuan desa telah menyiapkan segalanya. Dia memfasilitasi pertemuan, mempertemukan Dia dengan para kepala desa dan perangkatnya. Dalam aula sederhana yang diterangi cahaya lampu redup, mereka berkumpul—beberapa dengan raut penasaran, beberapa dengan ekspresi skeptis.
Dengan suara tenang namun penuh keyakinan, Dia mulai menjelaskan. Tentang bagaimana OpenSID dapat mengubah sistem administrasi desa yang manual menjadi lebih cepat dan transparan. Tentang bagaimana satu perangkat lunak bisa mengurangi beban kerja perangkat desa yang selama ini harus berurusan dengan tumpukan kertas yang tak berujung. Tentang bagaimana warga tak perlu lagi menempuh perjalanan panjang hanya untuk mendapatkan selembar dokumen.
Suasana mulai berubah. Ada kepala desa yang mulai mengangguk, perangkat yang mulai bertanya dengan antusias, bahkan beberapa warga yang hadir tampak berbisik di antara mereka, mendiskusikan kemungkinan baru yang belum pernah mereka bayangkan sebelumnya.
Namun, ini baru permulaan. Sosialisasi hanyalah gerbang awal menuju perubahan yang lebih besar. Masih ada pelatihan yang harus dilakukan, masih ada tantangan yang harus dihadapi, dan masih ada perjalanan panjang untuk menjadikan sistem ini bagian dari kehidupan desa. Tapi satu hal yang pasti—benih perubahan telah ditanam, dan kini tinggal menunggu waktu untuk tumbuh dan berakar di tanah yang selama ini gersang dari teknologi.
Menembus Batasan, Menghadapi Tantangan
Perubahan, seperti benih yang ditanam di tanah kering, butuh kesabaran untuk bertunas. Setelah memperkenalkan OpenSID di Kecamatan Orong Telu, Dia menyadari bahwa jalan yang terbentang di hadapannya tidaklah mulus. Desa-desa yang Dia dampingi bukan hanya terpencil, tetapi juga terhalang oleh keterbatasan infrastruktur.
Jaringan internet, yang di tempat lain menjadi jembatan menuju kemajuan, di sini justru menjadi kemewahan. Di beberapa desa, sinyal begitu lemah hingga pesan WhatsApp pun sulit terkirim. Ada pula desa yang sama sekali belum tersentuh jaringan, di mana warga masih menggantungkan hidup pada ritme alam tanpa akses ke dunia digital. Bagaimana mungkin sebuah sistem berbasis internet dapat berjalan di tempat seperti ini?
Namun, di dalam setiap tantangan, selalu ada jalan keluar. Dia tak kehabisan akal. OpenSID, aplikasi yang Dia perkenalkan, tak harus bergantung pada koneksi internet. Dia menunjukkan bahwa sistem ini bisa diinstal di localhost—cukup dengan satu komputer di kantor desa, perangkat desa tetap bisa mengelola data dan administrasi meski tanpa jaringan. Ini bukan solusi sempurna, tetapi setidaknya, ini adalah awal.
Tantangan berikutnya datang dari resistensi perangkat desa. Tidak semua orang menyambut perubahan dengan tangan terbuka. Beberapa kepala desa masih ragu, menganggap sistem baru ini hanya akan menambah beban kerja. “Cara lama sudah cukup,” kata mereka. Ada pula yang khawatir tak mampu mengoperasikan teknologi yang terasa asing. Tak sedikit yang bertanya, “Apakah kami bisa belajar? Apakah ini tidak terlalu rumit?”
Di sinilah kesabaran Dia diuji. Dia tahu, resistensi bukanlah penolakan mutlak, melainkan ketakutan akan sesuatu yang belum dipahami. Maka, Dia tak hanya datang sebagai pengajar, tetapi juga sebagai teman yang siap membantu. Dengan perlahan, Dia membimbing perangkat desa, menunjukkan bahwa mereka tidak sendiri dalam proses ini.
Namun, tantangan terbesar bukan hanya soal teknologi, tetapi juga keterbatasan sumber daya manusia. Di beberapa desa, perangkat desa yang melek digital bisa dihitung dengan jari. Sebagian besar masih terbiasa dengan pencatatan manual, menggunakan buku besar dan arsip kertas. Untuk mereka, komputer adalah dunia yang asing, tombol-tombolnya seakan penuh teka-teki.
Tetapi Dia percaya, perubahan bukan soal seberapa cepat seseorang bisa belajar, melainkan seberapa besar keinginan untuk maju. Dia terus mendampingi, mengajarkan dari dasar, menyusun langkah kecil demi langkah kecil hingga akhirnya mereka mulai terbiasa.
Jalan perubahan memang tak mudah. Ada keterbatasan, ada keraguan, ada hambatan yang seolah tak berujung. Namun, bagi Dia , setiap tantangan adalah pijakan untuk melangkah lebih jauh. Karena Dia tahu, di balik setiap kesulitan, ada desa-desa yang menanti masa depan yang lebih baik.
Sunyi di Ujung Perjuangan
Malam itu, Dia duduk di depan layar laptopnya yang telah menyala berjam-jam. Sinar lampu redup di sudut ruangan menyorot wajahnya yang lelah, sementara jari-jarinya tak lagi seaktif biasanya. Dia menatap layar kosong, tanpa satu pun pesan masuk, tanpa satu pun respons dari pihak yang Dia harapkan.
Sejak berbulan-bulan lalu, Dia telah melangkah jauh. Berjalan menembus jalan berbatu, mendaki perbukitan, dan menghadapi tatapan skeptis perangkat desa. Dia telah mengenalkan OpenSID dengan segala daya dan upaya. Dia meyakinkan mereka bahwa sistem ini bukan sekadar perangkat lunak, tetapi jembatan menuju perubahan. Namun, kini, dalam keheningan yang begitu menusuk, Dia mulai bertanya pada dirinya sendiri—apakah semua ini hanya sia-sia?
Tak ada komentar dari siapa pun. Pemerintah daerah yang Dia harapkan memberi dukungan, seakan memilih diam. Tak ada tepukan di pundak, tak ada kabar baik, bahkan sekadar pertanyaan pun tak datang. Seakan semua jerih payahnya lenyap tanpa jejak. Apakah perjuangannya hanya berakhir dalam sunyi?
Rasa putus asa mulai menyelinap. Dia bukan lagi pemuda dengan semangat meledak-ledak— Dia seorang pria berusia 62 tahun, yang telah melewati banyak pasang surut kehidupan. Tapi kali ini, sepi yang Dia rasakan terasa begitu berat. Sejenak, Dia berpikir untuk berhenti. Mungkin sudah cukup. Mungkin tak ada yang benar-benar peduli.
Namun, dalam diamnya malam, Dia kembali mengingat wajah-wajah perangkat desa yang pernah ia temui. Kepala desa yang mulai mengangguk paham, perangkat yang perlahan berani bertanya, warga yang berbicara dengan penuh harapan. Bukan mereka yang diam. Bukan mereka yang menutup telinga. Mereka mungkin masih belajar, masih mencari keyakinan, masih menunggu waktu yang tepat untuk benar-benar percaya.
Dia menarik napas panjang. Tidak semua perubahan harus mendapat tepuk tangan. Tidak semua perjuangan langsung mendapat pengakuan. Dia sadar, perjuangan ini bukan tentang dirinya, bukan tentang apresiasi yang Dia harapkan, tetapi tentang desa-desa yang membutuhkan perubahan. Tentang anak-anak yang kelak tumbuh di desa yang lebih transparan dan maju.
Malam itu, di tengah kesunyian yang nyaris menelan semangatnya, Dia memutuskan satu hal— Dia akan tetap berjalan. Dengan atau tanpa komentar, dengan atau tanpa tepuk tangan. Karena perjuangan sejati bukan tentang seberapa besar pengakuan yang diterima, tetapi seberapa kuat Dia bertahan di saat semua terasa sunyi.
Benih yang Mulai Bertunas
Perlahan namun pasti, angin perubahan mulai berembus di desa-desa yang pernah skeptis. Apa yang dulu tampak sebagai impian jauh, kini mulai menjelma menjadi kenyataan. OpenSID, yang semula hanya sekadar perbincangan di aula sederhana, kini telah tertanam di banyak desa, bukan hanya di Kecamatan Orong Telu, tetapi juga di berbagai pelosok Kabupaten Sumbawa.
Para kepala desa yang dulu ragu kini mulai berbicara. Mereka tidak lagi bertanya “Apakah ini mungkin?” tetapi telah berani mengatakan, “Kami ingin memulainya.” Beberapa bahkan telah memasukkan sistem ini dalam pembahasan RAPBDes mereka, menjadikannya bagian dari rencana pembangunan desa. Ini bukan lagi sekadar wacana, tetapi sebuah keputusan.
Di kantor-kantor desa, perubahan mulai terasa. Tidak ada lagi tumpukan berkas yang berdebu menyesaki rak kayu tua. Tidak ada lagi pencarian dokumen yang menghabiskan waktu berjam-jam. Administrasi yang dulu dilakukan secara manual, penuh kesalahan dan keterlambatan, kini berjalan lebih efisien. Dalam beberapa klik, data penduduk, surat-menyurat, hingga laporan keuangan desa bisa diakses dengan mudah.
Lebih dari itu, transparansi mulai tumbuh. Masyarakat, yang selama ini hanya mendengar tentang anggaran desa tanpa benar-benar memahami ke mana dana itu mengalir, kini bisa melihat sendiri melalui sistem yang terbuka. Tidak ada lagi pertanyaan yang menggantung tanpa jawaban, tidak ada lagi prasangka yang berakar dari ketidaktahuan.
Seorang warga desa berkata, “Dulu kami hanya bisa menunggu. Jika ada yang ingin dibuatkan surat, kami harus datang ke kantor desa, lalu menunggu entah berapa lama. Sekarang, semuanya lebih cepat, lebih jelas.”
Di warung kopi tempat para petani biasa berkumpul sepulang dari ladang, SID mulai menjadi topik pembicaraan. Mereka tidak lagi berbicara tentang betapa rumitnya mengurus dokumen, tetapi tentang bagaimana desa mereka kini mulai maju, setara dengan desa-desa lain yang lebih berkembang.
Dia melihat ini semua dengan mata yang berbinar. Tidak ada perayaan besar, tidak ada gemuruh tepuk tangan, tapi ada satu hal yang lebih berharga—perubahan yang nyata. Apa yang dulu hanya berupa harapan, kini telah menjelma menjadi kenyataan yang bisa dirasakan oleh banyak orang.
Perjalanan masih panjang. Masih ada desa-desa lain yang perlu diyakinkan, masih ada perangkat desa yang perlu dibimbing, masih ada tantangan yang mungkin menghadang. Namun, satu hal telah terbukti—benih yang Dia tanam di tanah yang kering itu kini mulai bertunas. Dan jika dirawat dengan baik, kelak Dia akan tumbuh menjadi pohon yang rindang, memberi manfaat bagi banyak orang.
Menjaga Bara Perubahan
Malam perlahan merayap, menyelimuti desa-desa yang kini mulai bersinar dengan cahaya perubahan. Dari jendela kecil di sebuah rumah sederhana, Dia memandang jauh ke luar, ke arah perbukitan yang menjadi saksi perjalanan panjangnya. Dia tersenyum, bukan karena semua sudah selesai, tetapi karena Dia tahu—perubahan telah dimulai.
Perjalanan ini bukan tanpa luka. Dia telah menghadapi keraguan, kelelahan, bahkan keheningan yang hampir membuatnya menyerah. Namun, Dia juga melihat bagaimana desa-desa perlahan bangkit, bagaimana perangkat desa yang dulu ragu kini mulai percaya, dan bagaimana masyarakat mulai merasakan manfaat dari sistem yang Dia perkenalkan. Semua itu mengajarkan satu hal penting: perubahan bukanlah sesuatu yang datang seketika. Dia butuh waktu, kesabaran, dan yang terpenting, keyakinan untuk terus berjalan meskipun jalannya sepi.
Tapi perjuangan ini belum selesai. OpenSID hanyalah awal dari digitalisasi desa yang lebih luas. Harapan Dia sederhana—agar desa-desa di Sumbawa, dan bahkan di seluruh Indonesia, tidak lagi tertinggal dalam arus teknologi. Agar setiap kepala desa tidak lagi memandang sistem informasi sebagai beban, tetapi sebagai sahabat dalam membangun desanya. Agar masyarakat tidak hanya menjadi penonton, tetapi juga bagian dari perubahan yang mereka sendiri rasakan.
Dan untuk itu, Dia percaya bahwa bara semangat ini tidak boleh padam. Harus ada yang terus menjaga, menghidupkan, dan memastikan bahwa sistem ini berkembang, bukan hanya sebagai program sesaat, tetapi sebagai pondasi yang kuat bagi masa depan desa-desa di negeri ini.
Malam semakin larut, namun di hati Dia , terang masih menyala. Dia tahu, esok masih ada desa lain yang harus dikunjungi, masih ada kepala desa yang harus diyakinkan, masih ada perangkat yang harus dibimbing. Tapi Dia juga tahu, di balik segala tantangan, di balik segala kelelahan, ada satu hal yang membuat semua ini berarti: keyakinan bahwa desa-desa kecil di pelosok negeri pun berhak untuk maju.
Dia yakin dalam perjalanan panjangnya bahwa suatu saat akan menjadi indah pada waktunya.
(Bersambung…)